[dropcap style=”flat”]M[/dropcap]encermati hasil survei Indeks Demokrasi Global sangat mengejutkan pelbagai pihak. Betapa tidak, hasil survei lembaga kredibel Economist Intelligence Unit tahun 2010 menunjukkan Indonesia hanya berada di peringkat 60 dari 167 negara yang disurvei. Indonesia kalah dibandingkan Thailand (ke-57), Papua Nugini (ke-59), bahkan jauh tertinggal dibanding negara Timor Leste (ke-42). Menurut Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Perang Bintang 2014: Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres (2013), mengatakan Indeks demokrasi rendah disebabkan lemahnya variable  budaya politik, partisipasi, dan isu-isu kebebasan sipil. Kinerja pemerintah yang juga diwarnai praktik korupsi dan inefisiensi. Isu-isu toleransi, pluralisme juga menciderai prestasi. Fakta di atas menunjukkan, bahwa tahapan konsolidasi atau proses melamar demokrasi masih menemui jalan buntu dan tidak sebanding lurus dengan substansi demokrasi itu sendiri, meskipun secara virtualitas kita telah berada di panggung demokrasi terbuka selama empat belas tahun. Keberhasilan menggelar Pemilu secara langsung dua periode mulai 2004 dan 2009 setidaknya bisa dijadikan salah satu indikator mengukur keberhasilan demokrasi kita.

Mochammad Thoha

Namun, lagi-lagi muncul persoalan, bahwa praktik demokrasi yang berjalan masih menemui jalan buntu, terutama dalam hal memenuhi kualitas kesejahteraan, keadilan, toleransi dan penegakan hukum. Hal ini menjadikan praktik demokrasi yang kita jalankan masih menyisakan tanda tanya, karena sejak awal cita-cita demokrasi yang dicita-citakan the founding father bangsa adalah untuk  mewujudkan negeri yang baldatun thayyibatun  warabbun  ghafur,  yaitu  negeri  adil,  makmur  dan  sejahtera. Untuk itu, kita dituntut pula untuk terus melakukan resolusi dan perbaikan terhadap demokrasi yang di satu sisi masih gagal dalam menciptakan dan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakat. Dan yang tak kalah pentingnya juga adalah soal kepemimpinan dan penegakan hukum (rule of law) ke depan. Mohammad Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita menegaskan bahwa cita-cita demokrasi dalam kalbu bangsa Indonesia bersumber dari tiga hal. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang selalu menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosial Barat yang selalu menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan  karena  dasar-dasar  perikemanusiaan  yang  dibelanya dan menjadi tujuan.

Demokrasi yang sehat dan stabil, menjadi kensicayaan dan mutlak diperlukan dalam menjalankan roda kepemimpinan, terlebih saat ini sistem demokrasi yang sehat merupakan fondasi pokok dalam menggarungi pelbagai  persoalan bangsa terutama di bidang ekonomi, penegakan  hukum (rule  of  law), keadilan dan kesejahteraan rakyat. Jack Snyder dalam From Voting  Violance (2000), menegaskan untuk menciptakan demokrasi tidaklah mudah. Resep menuju demokrasi bukan hanya menyingkirkan penguasa otoriter maka datanglah demokrasi. Demokrasi membutuhkan prasyarat  seperti kondisi ekonomi tertentu, pengetahuan dan keterampilan politik para aktor  politik yang bermain dalam ruang demokrasi, tradisi rule of law, dan perlindungan  terhadap hak asasi manusia. Tetapi persoalannya adalah terletak pada pilar utama  demokrasi, yaitu partai politik semakin kehilangan kepercayaan akibat perilaku para politisi yang cenderung gamang alias ambigu dalam menakar persoalan apa yang dihadapi bangsa ini. Hal ini terlihat dari sikap elite politik yang hanya berorientasi  pada kekuasaan semata tidak  untuk kepentingan rakyat. Penegakan hukum di negeri ini masih menyisakan persoalan terutama ketika dihadapkan dengan kasus yang  kentara aroma politik. Prinsif equality before of law terkubur “melempem” ketika  kasus hukumnya mendera elite politik. Inilah  kendala terbesar dalam membangun demokrasi ke depan.

Kehendak Kolektif

Demokrasi yang kita jalankan saat ini adalah kehendak kolektif. Mendesain demokrasi yang sesuai kebutuhan dibutuhkan langkah yang progresif ke depan bagi lahirnya nilai-nilai kemanfaatan bersama (kolektif), yaitu keadilan dan kesejahteraan. Setidaknya ada empat hal membenahi demokrasi kita ke depan. Pertama,  pentingnya  kesadaran  masif  dari pelbagai pihak sebagai  kehendak  kolektif  membagun sistem demokrasi mestinya dimanivestasikan dalam bentuk kerja nyata yang konkret dengan mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kedua, penegakan hukum (rule of law) mestinya lebih diprioritaskan ke  depan karena  pada hakikatnya indikator demokrasi yang stabil, sehat ketika ada komitmen  bersama  dalam menegakan hukum. Dalam konteks ini penting bagi institusi penegak hukum membangun sinergi antarpenegak hukum, baik KPK Polri dan Kejaksaan. Alexis de Tocqueville dalam Democracy, Revolution, and Society, sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi (2011) dalam tulisannya “Mem-bumikan Empat Pilar” mengatakan, bahwa  akar-akar sosial lahirnya demokrasi bertujuan untuk menegakkan hukum (rule of law). Ketiga, menggugah kesadaran  kritis rakyat  dalam  melawan  penguasa yang saat ini cenderung menindas rakyat kecil. Artinya,  rakyat  sangat  berhak  menuntuk hak-haknya, karena dalam demokrasi rakyat adalah pemilik tunggal icon demokrasi “vox populi vox dei”. Paulo Freire mengutip Fransisco Weffers (2000) menegaskan  kekuasaan tanpa kesadaran kritis melawan penindasan yang dialami rakyat adalah keterancaman lumpuhnya nilai-nilai demokrasi. *****

*Oleh Mochammad Thoha

Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
Sekjen Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PPMI)