[dropcap style=”flat”]B[/dropcap]elum lama berlalu ketika saya membaca status seorang teman yang terdampar di Kuwait. Sebelumnya, teman bersama suami dan anak-anaknya tinggal di Polandia. Teman saya ini bukan orang biasa-biasa saja. Namanya pernah menjadi hits di beberapa media cetak karena kesuksesannya berdakwah di Negeri Non Muslim dan membawa belasan perempuan mengucapkan kalimat syahadat untuk pertama kalinya :). Semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosa beliau sekeluarga :).

Islamic countries

Ada apa dengannya di Kuwait? Teman saya mengalami benturan budaya yang luar biasa. Dia terkaget-kaget. Sementara saya tersenyum-senyum membaca statusnya. Sebagai alumni Jeddah, kota terbesar nomor 2 di Arab Saudi, saya tidak heran sedikit pun membaca ‘kegalauan’nya. Been there, done that.

“How Islamic  are Islamic Countries” adalah sebuah penelitian lama yang hasilnya dipublikasikan tahun 2010 silam.

Berikut kutipan dari kompas.com (http://nasional.kompas.com/read/2011/11/05/09034780/Keislaman.Indonesia): Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140. Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial? Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim. Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei. Penasaran dengan hasilnya? Saya kasih sontekan sedikit. Selain Selandia Baru, urutan ke-2 hingga 5 ditempati oleh berturut-turut : Luxemburg, IRLANDIA *uhukUhuk*, Eslandia dan Finlandia. Negara dengan penduduk mayoritas muslim yang menempati urutan tertinggi adalah … Malaysia! Menempati peringkat ke-39. Indonesia sendiri, sudah disebutkan dalam kutipan artikelnya, urutan ke-140. Arab Saudi? Di urutan ke 131. Beberapa negara ‘penting’ dunia lainnya, misalnya Amerika Serikat, menempati urutan ke-25. Jepang di urutan ke-29 dan Jerman, salah satu negara terbesar di Eropa, di urutan ke-17. Saya lahir dan besar di Indonesia yang konon merupakan “Negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.” Pernah berkesempatan tinggal di Arab Saudi, “Negeri Penjaga Dua Kota Suci Umat Muslim Sedunia.” Baru-baru ini berkesempatan liburan ke Kuala Lumpur, ibukota Malaysia, “Negara Mayoritas Muslim yang Berada di Peringkat Tertinggi.” Dan kini…saya berada di  Irlandia, peraih medali perunggu “Negara Paling Islami” :D. Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzziban :). Kuwait sendiri urutannya tak terlalu buruk.  Bayangkan, teman saya saja yang terdampar di “Negeri Paling Islami no.48″ bisa sebegitu stres-nya hehehe. Bagaimana dengan kita-kita yang pernah tinggal di Saudi, si peringkat ke-131? Madam-madam Jeddah, mana suaranya? Ahahhahahahaha. Jujur saja, selama tinggal di Indonesia dulu, saya merasa biasa-biasa saja. Tidak pernah merasa terzalimi. Ya, kadang-kadang mungkin terselip sakit hati. Saya anggap wajar-wajar saja masalah muamalah di Indonesia. Mungkin kasarnya…pasrah. Hingga akhirnya saya ke Jeddah. For me, Jeddah is better than Jakarta. ‘Gemerlap’nya sih mirip-mirip. Yang  namanya ‘gap’ antara si kaya dan si miskin menganga sedemikian lebar baik di Jakarta maupun di Jeddah. Alasan pertama saya lebih senang di Jeddah karena beberapa hal. Bensin murah, mobil murah, penghasilan suami jauh lebih besar (daripada di Jakarta), enggak terlalu macet, kemana-mana terasa dekat, bahkan beberapa bahan pokok di Jeddah lebih murah daripada di Jakarta. Unbelievable. Belum lagi kesempatan untuk umrah sepuasnya. Tahun lalu dimampukanNya kami untuk naik haji. Di tahun terakhir kami di sana sebelum akhirnya dibukakan pintu rezeki di negara lain. Sekali lagi, Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzziban :). Saya akui, secara umum perilaku orang-orang Arab di Jeddah cukup mengecewakan. Meskipun pengalaman pribadi saya tidak separah beberapa teman saya yang sudah sebegitu sewotnya sama orang-orang Arab hehehe. Saya pun tak bosan-bosannya menuliskan bahwa beberapa episode-episode terbaik dalam hidup saya bertempat di Jeddah. Selama di sana, saya tergolong ‘yang paling bahagia’ hehehehe. Meskipun tak sedikit hal yang membuat saya selalu mengelus dada, “How come they call themself a moslem?” Berusaha untuk selalu berfokus pada hal-hal yang menyenangkan, membuat 30 bulan pengalaman tinggal di Jeddah menjadi ‘rangkuman kenangan indah’. Ingat saja hal-hal luar  biasa yang selalu membuat saya bersyukur. Tak pernah luput mengenang Mekkah dan Madinah sebagai tempat-tempat terindah yang pernah saya datangi. Begitu mudahnya dulu kami menghampiri kedua kota suci tersebut. Sementara tak sedikit umat Islam di Indonesia baru hanya sebatas memimpikannya saja. Bentar…hapus air mata dulu *drama-part :P*. Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzziban :). Dulu, saya suka bertanya-tanya, mengapa teman-teman yang berada di Eropa bisa sebegitu ngebetnya tinggal di sana. Tak sedikit yang mencari-cari cara setelah lulus sekolah agar bisa tetap bermukim di sana. Bahkan, ada yang sudah terpikir untuk menggadaikan status kewarganegaraannya. Ingin berganti warna paspor. Apa enaknya hidup berlama-lama dalam ‘kulkas”? :P. Konon, bangsa Irlandia ini memang salah satu bangsa paling ramah di dunia. Selama lebih dari 3 bulan tinggal di sini, saya sudah membuktikan sendiri. Terpukau oleh keramahan mereka. Ada  juga yang rasial kok, saya pernah diteriakin di perempatan jalan, “Go home!” oleh seorang pria separuh baya. Tapi santai saja. Orang-orang lain tidak ada yang peduli, tuh. Enggak penting memikirkan sebagian kecil yang kurang ramah. Di Athlone, hampir tak ada pengemis. Kalau pun ada tunawisma, penampilannya enggak germbel-gembel amat. Di Jakarta, yang bilang Pajero bukan barang mewah ada, yang gembel jadi tukang semir sepatu tak kalah banyaknya . Di Jeddah, Ferrari bukan barang langka, tapi pengemis terpencar di berbagai sudut kota. Fakta-fakta yang menguatkan pernyataan Ahmad Syafii Maarif dalam tulisannya yang saya share di status FB saya : ” …Bagi saya penggunaan perkataan ringkih terasa lebih puitis dan tajam, dibandingkan padanannya dalam istilah bahasa Indonesia. Itulah sebabnya dalam tulisan ini perkataan ringkih digunakan. Benarkah Dunia Islam itu ringkih? Tanpa memerlukan data hasil riset yang mendalam, berdasarkan pengamatan umum saja, pasti jawabannya: benar! Kesenjangan sosial-ekonomi hampir merata di seluruh dunia Islam. Keadilan yang demikian keras diperintahkan Alquran tidak digubris oleh penguasa yang mungkin sudah menunaikan ibabah haji berkali-kali…” Dulu sih, semasa di Jakarta dan Jeddah, bila mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari orang lain, tak pernah menjadi pikiran. Dimaklumi saja. Di Jakarta, sering dicuekin sama satpam di mal. Padahal kepada seorang Ibu yang turun dari mobil mentereng dengan berbagai aksesoris wah di badannya, tersenyum mengangguk setengah membungkukkan badan. Hidupnya sudah cukup ‘berwarna’ dalam menjalani tugas sebagai satpam, tak usahlah menyimpan dendam yang tidak perlu. Di Jeddah, pernah mendapat pengalaman pahit saat antre di kasir dalam toko di mal. Sebelumnya, saat 2 perempuan arab berdebat soal antrean, penjaga kasir dengan tegas melerai dan menunjuk ibu yang memang sudah datang lebih dahulu. Giliran saya diselak orang Arab, saya protes, kasirnya malah diam seribu bahasa. Ya, sudahlah. Saking sudah seringnya, sudah mati rasa ane hehehe. Terdampar di tempat lebih jauh, berbaur di tengah-tengah masyarakat non muslim, dari ras yang secara fisik sangat berbeda pula, malah mendapat perlakuan yang sangat menyenangkan. Sepele, ya? Biarpun suami suka meledek saya yang dianggapnya, “Dasar kamu ini. Belum apa-apa sudah lebay soal eropa”, menurut saya ini bukan hal sepele :). Setiap pagi mengantar anak ke sekolah, kami selalu berjalan kaki. Hampir 100% orang-orang yang berpapasan akan tersenyum menyapa, “Good morning.” Di Jeddah, seringnya mendapat pandangan penuh tanda tanya, mungkin berpikir, “Prikitiwww, mbak-mbak TKW ini cakep juga, yak.” Ahahahahaha. Di Athlone, saat mengantre di kasir setelah berbelanja barang-barang dapur dll di supermarket, semua orang mengantre dengan tertib. Bahkan, kasir benar-benar menunggu kita selesai mengemasi barang baru melayani customer setelah kita. Awalnya saya sering gugup. Saking takutnya kalau mengganggu antrean, mau buru-buru masukin barang ke stroller + plastik + ransel, barang-barang malah berserakan jatuh ke lantai. Malunya minta ampun. Tapi kasir cuma tersenyum, “That’s ok. Take your time.” Bahkan, ibu-ibu berambut kuning yang mengantre di belakang saya ikut memunguti barang-barang yang jatuh. Masya Allah. Sudah terbiasa diperlakukan bak TKW di tengah-tengah umat yang seiman, rasanya terharu diperlakukan seperti itu. Lebay? Whatever. Kata-kata “thank you”, “sorry”, berhamburan begitu mudah dari bibir mereka. Jadinya saya pun, biarpun awalnya agak kagok, jadi terbiasa selalu ber “thank you” dan ber “sorry” ria :). Di Irlandia, pajak memang termasuk tinggi. Biarpun gak setinggi di negara eropa lain pada umumnya. Tapi fasilitasnya juga enggak main-main. Jalanan dibuat senyaman mungkin. Angkutan umum sangat diperhatikan. Harga mobil sangat mahal. Bensinnya apalagi. Tapi lihatlah, sebagian besar penduduk jadinya berbaur di trotoar jalan kaki atau dalam angkutan umum. Bagus juga ide pajak tinggi dan dikenakan secara proporsional. Agar si ‘tajir’ mikir-mikir kalau mau beli barang mahal dan yang kurang mampu tak terlampau tersakiti. Sekolah gratis dengan fasilitas yang sangat memadai *nyengirLebar*. Malah, di selebaran pengumuman buat orang tua murid, ditulis jelas-jelas larangan untuk ‘tampil mewah’. Baju harus seragam. Seragam resmi terasa mahal? Kepala sekolah mempersilakan membeli di tempat lain yang lebih murah asal warnanya mirip. Disebutkan dengan jelas jenis-jenis sepatu tertentu yang TIDAK BOLEH digunakan ke sekolah. Bahkan, kotak untuk bekal makan pun dianjurkan untuk sesederhana mungkin. Ini semua dituliskan secara resmi dalam selembar kertas yang dibagi-bagikan pada orang tua murid sebelum hari pertama sekolah si anak. ‘Attitude’ adalah landasan utama pendidikan anak-anak di usia dini. Saya perhatikan betul, guru-guru dan kepala sekolahnya sangat disiplin dalam masalah tingkah laku. Mereka tak terlalu peduli dengan kemampuan kognitif. Tapi coba saja ada anak yang berani memukul temannya, kepala sekolah tidak segan-segan menarik tangan si anak dan menceramahinya panjang lebar dengan nada yang tinggi. Saya pernah melihat langsung. Soal penampilan pun tidak ada yang heboh-heboh. Ada lah beberapa yang agak ‘gaya’ tapi bisa dihitung jari. Pede-pede saja kemana-mana pakai training pants + kaos + jaket + sepatu kets + ransel :D. Mbak-nya mau mendaki gunung, ya? Ahahahahaha. Di Irlandia, dalam memperlakukan orang lain, people don’t really care whether you’re Catholic, Moslem or even you don’t believe in any religion at all :). Berperilaku sopan dan non diskriminatif adalah hal universal buat siapa saja. Ajaran yang saya tahu pasti adalah landasan muamalah dalam Islam. Sadly, you can hardly see this in (most of) moslem countries. Ironically, pretty easy to see the practice in non-moslem countries. Tanya kenapa? Memang, awal di Athlone, saya benar-benar teruji oleh udara dingin. Tapi tak lama. Baru 3 bulan tinggal di sini, rasa betah menerjang sedemikian kuat. Meskipun keinginan untuk mengganti status paspor sama sekali belum ada. Tapi saya ingin agar anak-anak saya suatu hari nanti melangkahkan kaki mereka sejauh yang mereka bisa. Saya doakan, semoga saya dianugerahkan kesehatan yang mumpuni (menjalani pola hidup sehat ala FC adalah salah satu ikhtiar saya dari sekarang untuk doa yang ini), tak perlu meresahkan anak-anak kelak, sehingga saya bisa menghabiskan sisa usia di negeri kelahiran tercinta. Sampai akhir menutup mata. Amin :). Kembali mengutip pendapat Profesor Komaruddin Hidayat (UIN Syarif Hidayatullah) Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler? Tampaknya keber-agama-an kita lebih senang di level semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam—syahadat, shalat, puasa, zakat, haji—dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis. *** Saya setuju sekali, kita terlalu sering menyepelekan ‘kesalehan sosial’. Pengalaman saya naik haji kemarin, selain menyisakan rasa haru yang masih terus berbekas hingga kini, terselip rasa kecewa yang mendalam. Seusai wukuf, jemaah biro haji kami keluar dari tenda ke arah jalan untuk menuju stasiun kereta. Saya tercekat melihat suasana jalan raya yang sudah kosong dari para jemaah ‘haji koboi’ yang sudah kembali ke Mina/Musdalifah. Kotornya luar biasa. Bau pesing tak terkira. Ceceran makanan, botol minuman dan entah cairan apa itu *yucky* berbaur menjadi satu. Subhanallah, sampahnya tidak main-main. Besoknya, saat akan tawaf ke Mekkah, jam 7 pagi kami sudah berjalan ke arah jembatan untuk menunggu taksi. Lautan sampah di mana-mana. Baunya pun sangat menyengat. Saya ingat saat itu sempat bergumam kepada suami, “Kebersihan sebagian dari iman.” Kebersihan tidak hanya menyangkut diri sendiri, tapi orang lain dan lingkungan sekitar, kan? Saat sepi pun, kalau tawaf, saya sering memperhatikan ‘rusuh’nya keadaan di sekitar hajar aswad. Tidak pernah damai suasananya. Sikut-sikutan, teriak-teriak, dorong-dorongan. Itu cuma amalan sunnah, saudara-saudaraku. Teringat pesan ustaz Syafiq yang mengisi ceramah pengajian di acara syukuran salah satu teman di Jeddah sebelum kami berangkat haji, “Jangan melakukan amalan sunnah dengan cara-cara haram.” Malah, bagi sebagian muslim, yang penting : salat, zakat, puasa. Perlakuan kepada orang lain, gaya hidup sehari-hari, tidak akan mempengaruhi keislaman kita selama kita salat-zakat-puasa. Sadar tidak sadar, penyempitan makna “rahmatan lil ‘aalamin” dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Dalam salah satu ceramah, Cak Nun bertutur, “Apakah di sini anda bisa punya cara untuk mengetahui seberapa iman anda? Bisa nggak kita mengukur akidah? Bisa nggak kita mengukur, kita ini Islam atau belum Islam? Kalau engkau menjawab “bisa”, lho, itu rak cangkemmu? Lha atimu? (itu kan mulutmu, lha hatimu?). Kita tidak bisa menilai Islamnya orang, kita tidak bisa menilai sesat atau bukan kecuali MUI.” Ucapannya disambut tawa jamaah. Ketika beberapa waktu lalu, saat ramai-ramainya pilkada DKI, saya berdebat dalam sebuah grup masalah akhlak vs aqidah. Seorang teman tak ragu-ragu menyematkan label ‘sekuler/liberal’ kepada saya? Untuknya, sebuah kalimat syahadat akan selalu berada di tempat teratas, jauh melampaui masalah-masalah yang berkaitan dengan kesalehan sosial. Dia mengejek, “Lo lebih pilih manusia daripada Tuhan?” Saya menjawab, “Pilihan yang mana? Memuliakan sesama manusia adalah perintah Tuhan.” Untuk saya pribadi, sangat jelas. Islam itu seimbang dunia akhirat. Terlalu condong kepada salah satu hanya akan membuat keseimbangannya goyah. Pengalaman hidup di Jakarta, Jeddah dan kini Athlone membuat saya mensyukuri betapa ‘liberal’nya saya. Sedangkan dalam hati saya selalu bersyukur saya dilahirkan sebagai seorang muslim. Dan selalu memohon agar Tuhan tidak akan memalingkan saya hingga akhir hayat nanti :). Akhlak itu tidak kalah pentingnya dengan akidah. Kalau Anda berdakwah dengan mengatakan babi haram, ini itu adalah konspirasi, menolak nasi kotak hasil acara paskah terang-terangan di media sosial, memasang status publik tentang haramnya mengucapkan ucapan Natal dan mengutuk muslim lain yang tetap melumrahkan ucapan tersebut, apa iya mereka akan berbondong-bondong mengakui kebesaran keyakinan Anda? Satu lagi dari Cak Nun yang mungkin bisa jadi bahan renungan, “Tuhan yang tahu akidahmu. Masyarakat butuh akhlakmu.” Tugas kita sesungguhnya bukanlah untuk membawa seluruh umat manusia untuk  bersyahadat bersama dalam satu bendera penafsiran yang sama (Sunni? Syiah? Wahabi? Salafi?). Tapi untuk menunjukkan (bukan menghakimi apalagi mengancam) bahwa : Islam = rahmatan lil aalamin. Bahkan rasulullah pun menekankan dirinya HANYA sebagai PEMBAWA PERINGATAN dan PENJELASAN. Bukan pemegang daftar siapa yang masuk surga siapa yang masuk neraka, kan? Katakanlah, “Wahai manusia! Sesungguhnya aku bagi kalian hanyalah pembawa peringatan dan penjelasan.” (QS. al-Hajj [22]: 49). Alquran, adalah petunjuk dan rahmat. Bukan untuk  mengancam-ancam orang yang tidak sepaham. Maksudnya apa? Renungkan sendiri :). Semoga bertahun-tahun setelah tahun 2010, saat penelitian “How Islamic are Islamic Countries?” digelar kembali, jajaran negara-negara muslim bisa bertengger di peringkat 10 besar. Amin :).


Tulisan ini adalah karya mbak Jihanda Vincka. Versi aslinya dapat di lihat di sini.