[dropcap style=”flat”]B[/dropcap]eberapa bulan ini saya merasa cukup aneh dan terkaget-kaget dengan Ibu saya, Ibunda Hartati. Sekarang jika saya coba komunikasi dengan Ibu (saya memanggilnya Mama), maka sering kali saya dapati balasan sms atau telfon bahwa Ibu sekarang lagi sibuk ada pertemuan disana dan disini dengan warga masyarakat.

Foto keluarga (Lebaran 1434 H)

Ibu saya memang aktif dan berkiprah sejak dulunya di lingkungan masyarakat, namun kalau saya katakan saat ini Ibu sudah jadi orang penting. Kiprahnya sekarang begitu besar dan semakin terasa. Beliau dipanggil kesana kesini untuk membangun bersama masyarakat. Saya merasa bangga, sekaligus kadang saya merasa lucu dan tergelitik dengan curhat-curhat ibu saya yang begitu jelasnya ia menceritakan bagaimana kiprahnya saat ini. Ya beliau sudah membesarkan saya dan anak-anaknya, ia kini mempunya waktu luang yang cukup besar dan itu dimanifestasikan dengan aktualisasi dirinya ke dalam masyarakat.

Saya jadi ingat apa yang disimpulkan oleh David Gudmann yang membuat studi tentang Megawati. Ada juga Mclntyre yang melakukan hal yang sama. Mclntyre menyebutkan bahwa karir politik Megawati, Ibu rumah tangga ini dimulai dengan hidup tenang dengan awalnya mengurus anak-anak.

Sejarah mulanya adalah ketika Soerjadi sadar dengan pengaruh Bung Karno, Soerjadi yang waktu itu menjabat sebagai ketua umum DPP PDI ingin memanfaatkannya dengan menampilkan putri-puti tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, salah satunya Megawati, sebagai calon anggota DPR mewakili partainya periode 1987-1992. Asumsi Soerjadi ini tidak salah, buktinya saat kampanye politik PDI pada pemilu tahun 1992 gambar-gambar Bung Karno bertebaran.

Namun sampai kongres PDI di Medan pada tahun 1993, Megawati ketika itu juga bersama Guruh Soekarnoputra masih belum memperlihatkan tanda-tanda pengaruhnya. Nama Megawati tidak masuk perhitungan sebagai calon Ketua Umum DPP PDI periode itu. Meskipun pada saat itu Soerjadi terpilih kembali menjadi ketua umum, kisruh yang terjadi menanggapi hasil keputusan tersebut memunculkan dorongan untuk diadakannya Kongres Luar biasa (KLB) PDI yang beberapa thesis menyebutkan bahwa ini adalah faktor peran Negara yang ingin mendominasi dan berusaha melemahkan pengaruh sumber-sumber kekuatan di luar Negara. Sama halnya pada kasus Mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang dipisahkan dari organisasinya (NU). Abdurrahman Wahid yang ketika itu menjadi ketua umum PBNU dengan massa berjumlah puluhan juta harus disingkarkan dan dibatasi ruang geraknya. Negera, ketika itu takut akan perluasan transformasi politik dan pengaruh organisasi besar diluarnya, oleh karenanya jumlah partai yang peserta pemilu dibatasi menjadi hanya tiga (PPP, Golkar dan PDI). Dampaknya Abdurrahman Wahid dengan potensi sumber kekuasaan yang besar belum bisa ditransformasikan menjadi kekuasaan politik yang real. Begitu jualah yang terjadi dengan Soerjadi. Ia disingkarkan dari organisasinya melalui rekayasa yang menyebabkan terjadinya KLB.

KLB PDI telah membuka jalan bagi Megawati untuk meraih sumber kekuasaan politik, namanya mulai mencuat sebagai kandidat ketua umum. Meskipun pada saat itu tokoh-toko PDI lainnya menyangsikan kemampuan Megawati dalam memimpin dan memahami aspirasi rakyat. Berbeda kisahnya dengan Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gusdur. Negara melihat Gusdur sebagai bibit potensial yang akan menandingi kekuatannya. Namun sepak terjang Gusdur ternyata sangat tajam, tidak surut dengan lepasnya ia dari kekuasaan tertinggi NU ketika itu yang terjadi pada Muktamar NU tahun 1994 – yang dapat dikatakan bahwa sebenarnya itu adalah pertarungan antara kekuasaan Negara berhadapan dengan Gudsur. Untungnya bagi Gusdur, perubahan orientasi politik negara dengan memberi angin kepada kalangan “Islam Modernis Kota”  yang mengkonsolidasikan diri melalui Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) – yang pendiriannya diresmikan Negara. Restu negara ini menunjukkan sikap negara yang membuka diri dari isolasi terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat ke arah yang lebih terbuka. Gusdur berhasil merebut kekuasaan politik melalui kiprahnya awalnya mendirikan organisasi Fordem (Forum Demokrasi), di mana ia sendiri bertindak sebagai ketuanya. Terbentuknya Fordem telah menggabungkan sumber kekuatan Gusdur dari massa Islam, non-Islam dan “sekuler”. Dengan dasar-dasar dan sumber-sumber inilah akhirnya Gusdur mentranspformasikan potensi kekuatannya ke dalam struktur kekuasaan kongkret dan resmi dalam konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dengan didirikannya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Melalui PKB, Gusdur berhasil melembagakan basis kekuatan politik resmi untuk tujuan yang lebih besar. Melalui PKB, Gusdur melangkah menuju kursi Presiden.

Kembali membahas Megawati, haruslah diingat bahwa Megawati adalah perempuan. Melejitnya pengaruh Megawati selain karena pengaruh Soekarno, dan kemampuan Megawati yang terus terasah dan terbukti. Melainkan juga adalah pengaruh identitasnya sebagai perempuan itu sendiri. Laki-laki yang dipimpin oleh Megawati menjadi terpesona dengan kemampuan yang dimilikinya dan hal ini membuat lawan-lawan politik Megawati menjadi pusing. Keberhasilan seperti ini juga bisa terlihat pada Cory Aquino, Aung San Suu Kyi dan Benazir Bhuto. Juga karena mereka perempuan dapat menyimbolkan kemurnian, karena ia bukanlah kepala keluarga, bukan pemimpin kaum preman, juga bukan pemimpin konglomerat, bukan jendral dan lainnya.

Tetapi, jika alasannya karena perempuan, mengapa putri-putri Bung Karno lainnya, seperti Rachmawati dan Sumawati tidak menikmati pengaruh yang sama? Pertanyaan ini hanya ingin menunjukkan bahwa Megawati sesungguhnya punya karakter sendiri. Jika yang muncul sebagai representasi Bung Karno adalah Guruh, Guntur, Rachmawati, atau yang lainnya belum tentu dan kemungkinan besar tidak akan mencapai sukses seperti Megawati.

Dalam berbagai kemelut politik yang dihadapinya Megawati Justru tampil “garang”. Sikap seperti ini, dikatakan Mclntyre adalah sikap dari kaum perempuan yang telah mengalami post-parental women. Ini terbukti dengan alasan ketika megawati berkata tentang alasannya masuk politik pada 1987: “Saya tak bermimpi menjadi pemimpin. tetapi, karena saya kira anak-anak sekarang sudah dewasa, saya bisa aktif dalam dunia politik.

Post-parental women merupakan fase dimana kaum perempuan telah menemukan diri dalam kapasitas, baik sebagai eksekutif maupun (kepemimpinan) politik yang sbelumnya terbiarkan dan tidak disadari. Asal-usul kapasitas ini ada di dalam sifat-sifat agresif yang karena mengalami keadaan sangat darurat (chronic emergency) ketika bertindak sebagai orang tua, mengasuh keluarga dan anak-anak terpaksa diberikan kepada suami-suami atau partner-partner mereka. Namun kemudian, (kapasitas) itu mereka peroleh kembali setelah asuhannya menjadi dewasa.

David Gutmann menyebutkan bahwa ada sifat-sifat keibuan dalam diri Megawati yang berpengaruh besar terhadap daya imbauannya dalam aktivitas politik. Tetapi mengingat alasan utama terjunnya Megawati ke dalam dunia politik bersifat post-parental women, maka ujar Mclyntyre, sangat memungkinkan bagi kita untuk menganggap bahwa apa yang sesungguhnya sedang kita lihat bukanlah figur lemah-gemulai dan bersifat keibuan, melainkan seorang perempuan post-parental yang tegas dan androgeny.

Hal ini juga yang membuat saya befikiran bahwa Emansipasi wanita adalah hal yang salah kaprah dalam artian sebenarnya. Emansipasi wanita saat ini sangat radikal, bahwa perempuan-perempuan muda diangkat derajatnya setara dengan laki-laki dan diberi wewenang dan hak yang sama untuk bebas menuruti keinginan karirnya, sehingga menyebabkan banyak Ibu muda yang lalai dan anak-anaknya terbengkalai. Mereka tidak memenuhi hak anak untuk mendapat asuhan dan kasih sayang penuh dari orang tua, ini menyebabkan anak-anak tumbuh besar dengan miskin perhatian. Dan ini juga yang menyebabkan prilaku-prilaku aneh dari perbuatan anak muda yang saat ini banyak menyimpang. Mereka berbuat kriminal, narkoba dan tidak jelas masa depannya sebagai pelarian atas perhatian dan kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan dari lingkungamn terdekatnya, yaitu keluarga.

Maka, emansipasi yang bisa didapatkan dengan sepenuhnya, menurut hemat saya adalah bagi wanita-wanita yang sudah bebas tanggung jawab rumah tangga. Dalam artian telah membesarkan anak-anak mereka hingga cukup dewasa dan mampu mencoba mandiri. Sehingga peran Ibu sudah masuk ke dalam fase pengawasan dan pengarahan saja, dan ini bisa dijalani dengan cukup ringan. Sehingga para Ibu bisa membagi fokusnya pada akselerasi dan pengabdian karirnya di luar rumah tangga.

Malam ini saya baru menelfon Ibu, satu jam berbicara dan bercerita, lalu beliau minta izin untuk mengakhiri pembicaraan karena harus bersiap-siap lagi “terjun”. “Mama mau terjun lagi do, malam ini ada pertemuan. Mama shalat dulu dan siap-siap ya. Nanti kita telfon lagi”, ucap Ibu. Oh Ibuku….sukses selalu Ibu. I Love you.