Adhitya Fernando[dropcap style=”flat”]K[/dropcap]isahnya sekitar akhir tahun 1990, waktu itu seorang anak laki-laki lahir dari rahim seorang Ibu muda bernama Hartati. Kala itu Ibu tersebut juga seorang pekerja di salah satu perusahaan migas (asing) yang sampai saat ini masih exist (menguras minyak Indonesia). Ibu itu bekerja di bagian humas yang berurusan dengan tamu-tamu asing/bule bos-bos besar perusahaan tersebut.

Terbiasa berhadapan dengan bule bos besar, tercuat keinginan sang Ibu untuk mengimpikan anaknya kelak seperti orang-orang tersebut. Dilihatnya lah daftar nama dari bule tamu di buku kerjanya, tertulis nama “Adhitya Fernando” – sang Ibu ingat jelas seperti apa sang bule tersebut. Saat kelahiran putra pertamanya, lantas sang Ibu memberikan nama bule tersebut pada anaknya. Ingin anaknya sukses besar dan jadi orang hebat seperti yang ia bayangkan. Harapan sang Ibu tersebut begitu mulia. Jelas ia mempunyai visi bagaimana anaknya kelak harus menjadi. Ia pun berusaha membesarkannya dengan sebaik mungkin, mengajari, melatih dan membekali anaknya tersebut dengan berbagai nilai-nilai kehidupan yang amat berharga.

Tahun demi tahun berlalu, tentu anaknya sekarang sudah jauh tumbuh besar dan dewasa. Sang Ibu begitu bangga dengan anaknya. Saat masih bersekolah dasar, didikan sang Ibu berhasil menjadikan anaknya juara umum sepanjang masa sekolah. Pahit manis dan bersusah payah anaknya ia besarkan. Tak selalu gemilang, riak-riak gelombang pasang surut dilalui oleh sang Ibu dan anaknya. Wajar saja, itu dinamika kehidupan. Sampai sejauh itu, bekal-bekal pendidikan dan asuhan dari sang Ibu sangat membekas di jiwa sang anak. Anaknya tampak begitu menggelora dalam setiap usahanya.

Anaknya tampak tumbuh seperti harapan sang Ibu, tersiar kabar bahwa anaknya perlahan menjadi “bule” seperti yang dahulu Ibu bayangkan. Ternyata benar, anaknya sudah bertualang sampai ke negeri benua biru, Jerman (eropa). Sepertinya semakin membekas dan terngiang harapan sang Ibu. Anaknya menjadi orang besar dan sukses dari hari ke hari (proses). Harapan itu muncul jadi nyata dengan tampaknya cahaya matahari di kejauhan sana, menyelip di celah-celah sempit lorong kehidupan. Pastilah itu cahaya terang, namun belum terlalu jelas asalnya. Ia mencari, berjalan dan berlari menuju sumber cahaya. Lambat laun akan ia temukan juga dan ia terang benderang disana. Bersama cahaya dan harapan sang Ibunda yang menjadi nyata. Itulah sekarang “saya”, si Adhitya Fernando yang bernama sama dengan bule tersebut. # Mengenang hari lahir (09 November 1990)