Ilustrasi: Foto ini di dalam kereta di Jerman

[dropcap style=”flat”]H[/dropcap]ari itu adalah Selasa, tepatnya tanggal 24 September  2013. Pada sekitar pukul 19.17 malam di kota Antwerp, Belgia kami memasuki kereta cepat untuk pulang ke apartment di kota Wuppertal, Jerman. Tidak ada perasaan istimewa, hanya rasa sedikit kantuk yang cukup menyita. Agenda yang padat selama di Antwerp membuat kami sedikit lelah, namun bahagia.

Ilustrasi: Foto ini di dalam kereta di Jerman

Kami telah dua hari berada di Antwerp. Saat pertama tiba di Antwerp, kami disambut oleh Professor Jeff, seorang dosen di Antwerp University. Prof. Jeff adalah teman Ibu Lily, dosen pembimbing kami dari Indonesia. Setelah perkenalan singkat, lalu Prof. Jeff mengajak kami berjalan-jalan disekitar Antwerp. Kami ngobrol sambil menikmati pemandangan indah kota Antwerp. Tujuan pertama adalah ke MAS Museum, disana telah menunggu beberapa mahasiswa Prof. Jeff.

Menikmati MAS Museum

MAS Museum adalah museum pertama yang dibangun di kota Antwerp setelah lebih dari satu abad berlalu. Museum ini identik dengan warna merahnya yang berasalah dari batuan pasir dipadu dengan menara kaca disekelilingnya. Dirancang oleh arsitek Belanda Neutelings Riedijk. MAS berasal dari bahasa Belanda (Museum aan de Stroom/Museum di Sungai). Museum ini menyatukan berbagai koleksi publik dan swasta dan pameran artefak berharga dari seluruh dunia. Museum ini telah menjadi kebanggan warga kota Antwerp. Sesampainya disana, kami disambut oleh tiga orang mahasiswa Prof. Jeff, dua diantaranya adalah perempuan. Saya tidak ingat lagi siapa saja nama mereka. Disana kami dibagi berpisah, mahasiswa diajak berjalan keliling ke tempat lain di kota Antwerp, sementara Ibu Lily dan Prof. Jeff akan ke universitas untuk menyiapkan agenda besok pagi.

Sepanjang siang sampai malam harinya kami nikmati kota Antwerp, mulai dari makan hingga belanja souvenir. Agenda hari itu ditutup dengan makan bersama di Pizzeria, sebuah restaurant pizza disebelah gereja Carolus Borromeus. Setelah asyik menikmati santap malam, selanjutnya kami pulang ke penginapan. Kami menginap di Alias Youth Hostel, cukup jauh untuk mencapai tempatnya dari posisi dimana kami makan.

Kunjungan ke Antwerp University

Malam berlalu, dan esoknya kami sudah disambut dengan agenda resmi di Belgia, yaitu kunjungan ke Antwerp University untuk menghadiri workshop “The Company”, sebuah platform kewirausahaan dari universitas tersebut. Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa Antwerp university ingin merubah paradigma bahwa di universitasnya tidak hanya sekedar belajar ilmu, tapi juga membimbing mahasiswanya menerapkan ilmunya dalam bentuk produk tepat guna yang bernilai jual. Disini kami diberi tugas baru untuk dilaksanakan di Indonesia, yaitu market research untuk beberapa produk hasil karya mahasiswa universitas tersebut. Kegiatan ini adalah awal kerja sama program pertukaran mahasiswa dengan Antwerp University.

Terlena dengan cerita di Belgia, saya sampai lupa tujuan tulisan ini bercerita tentang getar cinta. Nah begini nih ceritanya.

Pulang ke Wuppertal

Dalam perjalanan pulang ke Wuppertal, kami menaiki kereta yang sangat padat penumpang. Mungkin inilah realitas kota wisata, tidak kenal hari libur tetap saja ramai. Tidak seperti di kereta-kereta yang sebelumnya kami naiki, biasanya kami bisa duduk berdekatan sesama mahasiswa Indonesia. Di kereta ini kami harus memilih apakah berdiri atau berusaha mencari kursi kosong di beberapa gerbong di belakang. Beberapa teman memilih berdiri, sementara saya dan beberapa lainnya memilih berjalan menelusuri gerbong untuk mencari tempat duduk. Perjalanan kereta ini cukup lama, memakan waktu sekitar 2 jam, sehingga kami cukup berani berpisah dari rombongan.

Dari kejauhan, di gerbong depan saya lihat ada satu kursi kosong disebelah kiri dan dua kursi kosong di sebelah kanan. Dua orang teman saya ajak untuk menuju kesana. Dibelakang kursi kosong tersebut terlihat beberapa orang,  sepertinya rombongan keluarga yang sedang asyik bercanda. Ini hal yang tidak biasa saya temui di kereta di Eropa, biasanya penumpang lebih memilih diam menikmati perjalanan, atau sekedar ngobrol biasa dengan teman rombongannya.

Saya di kereta Belanda

Keadaan cukup sesak di dalam kereta, selain karena kereta ramai penumpang, tetapi juga karena ini kereta Belanda. Saya bisa tahu bahwa ini kereta milik perusahaan Belanda dari beberapa ciri-ciri. Pertama adalah keadaan kereta sudah agak lusuh, tidak seperti kereta baru. Kareta Belanda biasanya sudah cukup tua, jadi keadaan ruangan di dalam kereta sudah kurang segar. Mulai dari cat dan kursi yang sudah mulai pudar, juga cahaya lampu yang agak redup. Berbeda dari kereta Jerman yang sebelumnya saya naiki, kebanyakan diantaranya sangat bagus dan masih nyaman.

Kedua adalah ada beberapa coretan di dinding. Coretan tersebut menguatkan keyakinan saya bahwa ini adalah kereta Belanda, sebab beberapa kereta Belanda yang sebelumnya saya naiki dalam perjalanan ke Belgia penuh dengan coretan di beberapa bagian, seperti biasanya di kebanyakan tempat di Indonesia.

Barangkali ketemu jodoh

Diantara beberapa hal yang selalu terbayang dari perjalanan ke luar negeri adalah bertemu jodoh. Selalu menarik membaca beberapa kisah orang-orang yang akhirnya bertemu jodohnya ketika ia berada di luar negeri. Entah itu bertemu ketika sedang dalam masa kuliah, atau ketika menikmati liburan di luar negeri. Beberapa kisah yang saya baca menceritakan suasana pertemuan dan tali kasih yang mesra dari pasangan yang bertemu di negeri orang tersebut. Maklum saya pun jadinya terbawa imajinasi.

Dalam usaha saya menuju kursi kosong tersebut, muncul sesosok gadis berjilbab ditengah asyiknya pandangan saya mengamati keluarga yang sedang bercanda ria ditengah perjalanan. Keluarga tersebut terpisah duduk di sebelah kiri dan kanan. Hal ini menguatkan rasa penasaran saya untuk segera mencapai kursi tersebut. Dalam dugaan saya bahwa mereka sepertinya keluarga dari Indonesia, atau keluarga muslim yang sedang liburan.

Akhirnya bisa duduk juga

Jalan saya semakin dekat mencapai kursi, lirih terdengar percakapan mereka menggunakan bahasa yang saya kenal. “Ya mereka orang Indonesia”, ujar saya senang dalam hati. Dua anak laki-laki kecil yang saya lihat dari kejauhan masih asyik bercanda. Namun, sekilas penampakan gadis yang tadi saya lihat tak lagi muncul. Saya teruskan berjalan hingga sampailah di tepian kursi kosong tersebut, sengaja saya tidak langsung duduk. Sejenak pandangan saya tertuju pada seseorang dibelakang kursi kosong tersebut, ialah gadis manis berjilbab yang saya lihat tadi. Ia sedang mengambil sesuatu dari dalam tas dibawah kakinya. Seketika dia bangkit, saya lepaskan pandangan dan bersegera duduk. Saya tidak ingin dia tahu bahwa saya memperhatikannya.

Disebelah saya, duduk seorang pria asing yang berasal dari Ceko. Wajahnya yang ramah mengajak saya berbicara berkenalan. Dia tanyakan darimana saya berasal, saya jawab dari Indonesia. Beberapa pertanyaan dia ajukan, dan kami saling tanya jawab tentang diri masing-masing. Pria tersebut akan turun di Belanda.

Ingin menyapa keluarga di belakang

Sembari ngobrol dengan teman asing di sebelah, saya juga menyimak pembicaraan keluarga Indonesia di belakang. Ingin sekali saya ngobrol dengan mereka. Lebih kurang sepuluh menit berbicara dengan teman di sebelah, ia tampak mulai mengalihkan fokus, handphonenya sudah berbunyi beberapa kali sepertinya ada telfon masuk namun diabaikan. Kesempatan tersebut saya gunakan untuk mengakhiri pembicaraan dan memulai memikirkan cara menyapa keluarga di belakang.

Saya sedikit malu jika langsung memperkenalkan diri, makanya saya harus muncukan inisiatif trik lain. Kebetulan tadi saya bawa dua orang teman untuk duduk dekat bersama saya, tepatnya mereka duduk berjarak dua kursi di sepan saya di sisi yang berlawanan (saya sisi di kiri mereka sisi di kanan). Saya panggil mereka pakai bahasa Indonesia, sekedar menyapa untuk mengatakan bahwa akhirnya kita bisa duduk juga. Kepada keluarga di belakang, saya ingin beri kode bahwa saya ini orang Indonesia juga. Namun tak saya fikirkan bagaimana trik selanjutnya setelah kode sandi bahasa tersebut saya sampaikan.

Kaget, gadis manis itu menyapa saya

Baru saja sebentar saya menyapa teman Indonesia di depan, datang suara dari belakang mengagetkan saya. Halus suaranya membuat saya terpukau. “Kamu dari Indonesia ya”, begitu suara yang saya tangkap. Saya tolehkan muka ke belakang, jelaslah saya lihat gadis tersebut yang mengucapkannya. Aiih kode bersambut. Saya coba menutupi rasa gemetar. Pertanyaannya berusaha saya jawab dengan tenang, dan ekspresi yang mengesankan. “Oh ya saya dari Indonesia”, jawab saya. Ingin saya sambung dengan balas bertanya apakah ia dari Indonesia juga, ternyata lebih dahulu ia menambah pertanyaanya. Saya mulai GR, dalam hati saya berkata sepertinya dia yang lebih ingin mengenal saya. Asumsi tersebut saya imbangi dengan respon yang baik atas pertanyaanya. Dia bertanya lagi saya sedang apa disini, saya jawab bahwa saya lagi dalam kegiatan pertukaran pelajar dengan mahasiswa Jerman. “Kunjungan ke Belgia setelah program dengan mahasiswa Jerman selesai, ya sambil jalan-jalan”, tambah saya.

Dia bertanya terus sampai beberapa saat, tak menyisakan ruang untuk saya balik bertanya tentang dirinya. Di satu sisi jelas saja saya senang, apalagi ketika menatap wajahnya saya terbawa imajinasi tentang bertemu jodoh, seperti kisah-kisah yang saya sebutkan di atas. Tetapi saya juga ingin segera mengetahui tentang dirinya. Ingin rasanya saya potong bicaranya, dan ajukan pertanyaan tapi itu tidak saya lakukan.

Disela-sela obrolan kami yang semakin seru, terlihat kedua orang tua gadis tersebut melempar senyum kepada saya. Saya balas senyum mereka, sambil menunjukkan simpati agar meninggalkan kesan mendalam. Lagi, gadis tersebut sampaikan pada orang tuanya bahwa saya dari Indonesia juga. Namun, saya tak banyak bicara dengan Ibu dan Bapak itu, karena mereka sibuk bermain dengan dua anak laki-laki mereka. Kami melanjutkan pembicaraan, dan masih gadis tersebut bertanya tentang saya.

Izinkan saya tahu namamu

Pembicaraan sudah semakin jauh, sampai saya menyadari bahwa saya sudah melewatkan satu fase penting di awal, yakni bertanya siapa namanya. Saya paham, jika tidak bertanya di awal maka kesempatannya adalah di akhir ketika pembicaraan hendak selesai. Saya nantikan dengan sabar kesempatan tersebut. Gadis manis, siapa namamu.

Setelah berlalu hampir beberapa puluh menit, akhirnya ia mulai mengurangi porsi bertanya. Saya ambil alir maneuver pertanyaan, namun satu pertanyaan utama saya lewatkan pada kesempatan berharga tersebut. Bukannya mulai bertanya dengan menanyakan nama, saya malah melanjutkan cerita dengan pertanyaan-pertanyaan gadis tersebut.

Akhirnya dapatlah saya mengetahui beberapa hal tentang dirinya. Gadis tersebut ternyata adalah mahasiswa sarjana yang sudah baru saja menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas di kota Amsterdam. Orang tuanya datang untuk menjemputnya pulang ke Indonesia. Hari ini adalah hari terakhirnya berada di Belanda, besok pesawatnya akan membawanya pulang ke tanah air. Dia bawa keluarganya liburan beberapa hari belakangan, mulai dari Belgia dan beberapa negara lainnya. Gadis tersebut berasalah dari pulau jawa, saya lagi-lagi lupa pastinya ia menyebutkan daerah mana ia berasal.

Pembicaraan kami semakin seru dan menyenangkan. Dari bahasa tubuhnya dan matanya, menunjukkan bahwa ia senang berbicara dengan saya. Seolah dia suka dengan  saya, eh obrolan kami maksudnya. Kami pun berbicara lebih komunikatif dan berbalas-balasan, sesekali ia tampak tersipu dan tersenyum lucu karena jawaban-jawaban dari saya. Sengaja saya bawa ia sedikit bercanda agar tidak kaku.

Saya ingat belum bertanya namanya

Ditengah asyiknya pembicaraan, saya ingat kembali bahwa belum bertanya namanya. Ingin saya ajukan pertanyaan tersebut, namun saya berfikir bahwa jika demikian maka saya akan mengalihkan pembicaraan yang sedang menyenangkan ini. Maka saya urungkan lagi keinginan tersebut. Saya tunda sampai menjelang akhir.

Ditengah pembicaraan, tiba-tiba muncul suara dari speaker di atas atap kereta. Seorang pemandu masinis sepertinya yang berbicara. Ia menggunakan tiga bahasa, pertama dengan bahasa Belanda, kemudian bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Saya Cuma bisa menyimak bahasa Inggris. Saya dengarkan dengan seksama bahwa ia katakan bahwa dalam beberapa menit lagi kereta akan memasuki wilayah Belanda. Itu inti pemberitahuannya.

Petugas imigrasi menghentikan obrolan kami

Saya ingin kembali memulai pembicaraan, namun sayangnya dari kejauhan di arah depan saya lihat sedikit kepanikan. Ada dua orang berbadan besar dan berseragam yang  menghamipiri penumpang di depan. Saya lihat sekilas penumpang menyodorkan passport kepada petugas tersebut, kemudian saya menyadari bahwa mereka adalah petugas imigrasi. Mereka sedang bertugas memeriksa dokumen penumpang, karena kereta akan memasuki wilayah perbatasan Belgia dan Belanda. Hal yang sama kami hadapi ketika menaiki kereta hendaka ke kota Weiden di Jerman, petuga kereta meminta kami menunjukkan dokumen perjalanan.

Pemeriksaan oleh petugas imigrasi di kereta Belanda

Petugas sudah semakin dekat. Beberapa orang di depan terlihat cukup panik mengeluarkan passport mereka, barangkali ada yang lupa meletakkannya dimana. Saya sampaikan kepada teman asing disebelah saya bahwa ada pemeriksaan passport. Teman asing tersebut pun kemudian panik. Ia katakan ke saya bahwa dia tidak membawa passport karena ketinggalan di hotel tempatnya menginap di Belgia. Dia terlihat panik membuka tasnya, mencoba memeriksa apakah memang tertinggal atau mungkin terselip. Namun tak kunjung tampak passport yang dicari, dia terus mengkomunikasikan pencariannya, dia tanyakan kepada saya apa yang bisa ditunjukkan selain passport. Spontan saya jawab apakah ia mempunyai identitas atau tanda pengenal lainnya, ternyata ia mempunyai kartu pengenal yang saya kurang tahu itu kartu apa. Sepertinya semacam KTP, atau sejenisnya.

Tanpa saya sadari, dua orang petugas tersebut sudah muncul di hadapan saya. Saya tunjukkan passport, yang memang saya letakkan di dalam tas kecil yang selalu saya sandang sehingga mudah mengambilnya. Ada sedikit intrograsi, petugas menanyakan saya dari mana dan ada tujuan apa. Saya jawab dengan jelas bahwa saya dari Indonesia dan sedang ada pertukaran pelajar. Selanjutnya petugas melanjutkan ke teman di sebelah saya, ia bertanya menggunakan bahwa asing, sepertinya bahasa Jerman. Namun pada saya ia gunakan bahasa Inggris, mungkin dia tahu saya orang Asia.

Saya tidak tahu apa yang petugas tersebut tanyakan pada teman di sebelah saya, namun dari eskpresinya saya tahu bahwa sedang menyampaikan bahwa ia tidak membawa passport bersamanya dan hanya memiliki identitas diri yang lain. Introgasi berlangsung beberapa saat, namun akhirnya berakhir dengan lega. Petugas tidak memberikan sanksi atau sebagainya terhadap teman asing di sebelah saya.

Petugas pun menghampiri gadis manis dibelakang saya. Ia terlihat tenang menjawab pertanyaan petugas. Kami satu keluarga ujar gadis tersebut pada petugas, tak beberapa lama berselang akhirnya petugas pun berlalu.

Kami berpisah tanpa tahu nama

Beberapa saat lepas dari petugas, saya ingin kembali memulai pembicaraan dengan gadis di belakang. Namun tak sempat keinginan tersebut terwujud. Dua orang teman yang saya bawa mengajak saya kembali ke depan untuk bergabung dengan rombongan. Kita sudah mau turun kata teman saya tersebut.

Akhirnya saya pun berdiri. Saya sempatkan berbicara dengan gadis teman bicara saya tadi. Saya katakan bahwa saya sudah hendak turun di stasiun berikutnya dan akan melanjutkan dengan kereta lain menuju Wuppertal. Kepada keluarganya pun saya katakan demikian. Hanya senyum dan sepenggal kata perpisahan dari orang tua tersebut.

Saya tatap gadis tersebut, mencoba berkomunikasi dengan mata hati. Saya lihat matanya berbinar, saya pun haru. Saya tinggal ia dengan senyuman hangat, semoga perkenalan ini berkesan juga baginya. Namun satu hal, bahwa malangnya sampai sejauh itu saya lupa bertanya namanya.

Saya lambaikan tangan dan kami pun berpisah, sampai jumpa lagi gadis manis di kereta Belanda. Terima kasih atas getar cintanya.