Sutan Takdir Alisjahbana dalam Alam Terkembang, menjelaskan bahwa kunci perubahan terletak pada hadirnya kaum terpelajar. Hanya mereka yang terpelajar yang hidup hati dan pikirannya yang dapat membawa masyarakat ke arah yang lebih baik (Layar Terkembang; hlm.143)

Persoalan kita sekarang adalah bagaimana menemukan apa yang disebut “kaum terpelajar” yang mengutip Anies Baswedan, adalah mereka-mereka yang telah mendapatkan pendidikan sebagai eksalator kemajuan namun memiliki tanggungjawab untuk membaginya pada yang lain. Belum lagi ketika berbicara pendidikan ini dalam konteks demokrasi dan desentralisasi yang dibutuhkan bagi pembangunan daerah.

Ada tiga faktor yang menjadi penentu apakah pembangunan sumber daya manusia terpelajar dapat mendorong pembangunan terutama di daerah dalam kerangka desentralisasi.

Pertama; pendidikan yang dimaksud bukan hanya dapat membangunkan kesadaran akan ilmu pengetahuan tetapi memuncukan juga dignity, harga diri yang tinggi. Bapak pendiri bangsa seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, dll., adalah mereka yang pada masa-masa pendidikannya bukan hanya menuntut ilmu apa yang dibutuhkan masyarakat namun juga terlibat aktif dalam pendidikan masyarakat.

Kedua; para pendiri republik ini adalah kaum terdidik yang tercerahkan dan berintegritas. Mereka berkesempatan hidup nyaman dengan menjadi kolaborator penjajah, namun mereka memilih untuk berjuang. Mereka mengedepanan keteladanan yang dapat menggerakkan pemuda-pemuda lainnya. Hal inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia dewasa ini, anak-anak bangsa yang terdidik harus mengupayakan kemajuan bangsa. Alasannya adalah Indonesia dalam kurun 2010-2035 akan mengalami bonus demografi, dengan tiga per empat penduduknya adalah kaum muda produktif.

Ketiga; pendidikan harus dapat menciptakan kesadaran nasional dan sektoral. Mengingat luas dan beraneka ragamnya demografi dan budaya bangsa kita, maka tidak mungkin pendidikan yang diberikan bersifat umum-umum saja. Harus ada pendidikan yang sifatnya sektoral, yang dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan sektoral seperti, kehutanan, kelautan, pertanian, peternakan, kesehatan, dan sektor lain yang dibutuhkan oleh masyarakat luas.

Mengingat arti pentingnya sektor pendidikan untuk menumbuhkan sektor-sektor lainnya,  maka penulis melihat bahwa  pendidikan adalah bidang yang ingin didalami oleh penulis.

Banyak catatan yang harus diperbaiki dari pendidikan Indonesia, berdasarkan laporan internasional seperti UNESCO (2012) menunjukkan Indonesia berada di peringkat 64 dari 120 berdasarkan penilaian Education Development Index (EDI). Sementara UNDP  (2011) juga telah melaporkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) atau Human Development Index (HDI) Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 108 pada 2010 menjadi peringkat 124 pada tahun 2012 dari 180 negara.

Sejatinya, masalah pendidikan di dalam negeri ini telah menjadi sangat kompleks seperti tertuang dalam rencana strategis Kemendikbud yang antara lain terkait disparitas di berbagai faktor pendidikan. Seperti disparitas akses pendidikan antar provinsi, distribusi guru berkualitas, rasio guru dan siswa, iliterasi, dsb. Ini menjadi persoalan penting, apabila kita melihat rasio-rasio ini dalam perbandingan antar provinsi dan antar kabupaten, dimana persoalan pendidikan bukan hanya persoalan nasional tetapi menjadi masalah bagi pemerintahan-pemerintahan lokal seperti kabupaten dan kota.

Misalnya dengan Kabupaten Bengkalis, dimana penulis berasal adalah kabupaten yang berada di daerah strategis, yaitu berbatasan langsung dengan selat Malaka. Sifat internasional dari selat ini secara langsung mempengaruhi cara pandang masyarakat Bengkalis dimana mereka sebetulnya memiliki akses sekaligus tantangan langsung dari pergaulan dengan kesibukan perdagangan di daerah itu.

Ini menjadi prioritas perhatian saya dalam mengaplikasikan keilmuan. ASEAN Economic Community yang akan dimulai pada tahun 2015 merupakan tantangan besar bagi kabupaten ini terutama di sektor pendidikannya. Berdasarkan laporan BPS Kabupaten Bengkalis lebih dari sepertiga PNS di sini (2011) berpendidikan setara SMA, kurang dari 1 persen berpendidikan setara S2/S3, sementara sebagian besar tenaga kerja berpendidikan setara SMA 30 persen, dan berstatus sebagai buruh atau karyawan hampir 40 persen. Ini tentu menyulut keprihatinan kita bersama mengingat regionalisasi AEC secara khusus menuntut knowledge based competency.

Berangkat dari persoalan tadi, maka tujuan studi dari penulis adalah di bidang penelitian pendidikan. Menguasai bidang ini, saya akan memberikan kontribusi dalam mengurai benang kusut masalah pendidikan di Indonesia dan lebih khusus kepada pembangunan SDM Bengkalis yang terpelajar yang siap menghadapi regionalisasi kawasan.

Hal ini bukan mustahil untuk diwujudkan, penulis memiliki pengalaman organisasi dan pendidikan yang baik untuk membangun optimisme tadi. Di sini penulis melihat bahwa beasiswa LPDP dapat menjadi kunci penguatan kemampuan analisa dengan mendapatkan kesempatan pendidikan di luar negeri dan menggunakan ilmu yang didapat guna mewujudkan cita-cita penulis memberikan kontribusi terbaik bagi penguatan SDM terpelajar bangsa Indonesia secara umum dan Kabupaten Bengkalis secara khusus.

*Dibuat untuk melengkapi syarat beasiswa LPDP Program Afirmasi Kementerian Keuangan RI